Kamis, 03 Juli 2014

Storybird

Storybird adalah sebuah program atau aplikasi berbasis internet (storybird.com) untuk membuat cerita atau puisi dengan gambar yang telah disediakan. Langkah awal untuk dapat menggunakannya kita harus mendaftarkannya terlebih dahulu. User dapat memilih gambar sesuai dengan yang dikehendaki. Kelebihan Storybird : 1. Menumbuhkan kreatifitas untuk membuat suatu karya 2. Pilihan gambar untuk membuat cerita atau puisi sangat beragam 3. Gambar menarik sehingga banyak disukai anak - anak Kekurangan story bird : 1. Perintah dalam bentuk bahasa Inggris 2. Tidak familiar di Indonesia 3. Jika dalam membuat cerita tidak menggunakan bahasa Inggris maka tidak dapat dipublikasikan. 4. Harus menyesuaikan antara cerita dan gambar yang dipilih

Sabtu, 28 Juni 2014

PPT Soal Bagian - Bagian Tumbuhan

Soal from bettytp

PPT Bagian - bagian Tumbuhan

Konsep Penyajian Tradisional dan Kontemporer

Konsep Penyajian Tradisional dan Kontemporer

A.      Konsep Penyajian Tradisional
Pagelaran tradisional adalah pagelaran yang terbentuk dari keratifitas manusia yang didalamnya terdapat unsur – unsur atau budaya kuno (tradisional). Pagelaran ini sangat erat kaitannya dengan nilai – nilai luhur yang ada dimasyarakat. Setiap penyajian pagelaran mempunyai kandungan nilai atau maksud tersendiri. Di Jawa pagelaran dengan sajian tradisioanl identik dengan gamelan, tembang – tambang Jawa, pesinden dan kostum yang digunakannya pun khusus (beskap dan kebaya).
Berdasarkan hasil pagelaran yang diamati pada tanggal 11 April, dalam konsep penyajian pagelaran tradisional memuat hal – hal berikut :
a.       Menggunakan alat musik pengiring gamelan jawa yang terdiri dari slenthem, saron, bonang, gong, kempul, kethuk,kempyang, rebab, siter, kendhang, demung, kenong,gender, gambang, dan suling.
b.      Kostum yang digunkan adalah kostum tradisional. Wanita menggunakan kebaya dan tata rias yang khas serta rambut disanggul sedangkan laki – laki menggunakan beskap.
c.       Setiap penyajian diiringi dengan tembang atau sekar yang dinyanyikan oleh sinden baik laki – laki maupun perempuan.
d.      Dalam penyajian pertama, oleh Dwi Sekarwati, Bayu Triyoko, dan kawan – kawan menyajikan sebuah pagelaran  menggunakan laras pelog. Pada pesinden , dapat dilihat bahwa semakin tinggi sebuah nada suara yang diucapkan, musik pengiringpun semakin cepat dan keras. Sehingga alat musik pengiring mengikuti setiap irama/ritme sebuah nada suara yang diucapkan. Kemudian dalam akhiran pagelaran ada beberapa alat musik yang mengiringi terlebih dahulu baru ditutup alat musik berikutnya. Dalam penyajian pertama ini, alat musik seperti saron, rebab, suling, dan pesinden selesai terlebih dahulu. Setelah itu  diakhiri dengan permainan alat musik bonang, gong, saron besar.
Description: DSC_0004.JPG

e.       Dalam penyajian kedua, oleh Danang Prabowo (rincian rebab), Ardi Satria Handoko (sebagai rincian gender dan pendhalang), Liliawati (pesinden) menyajikan sebuah gendhing karawitan dengan menggunakan slendro patat enem. Berbeda dengan penyajian pertama yang hanya menyajikan tembang diiringi gamelan jawa, penyajian kedua ini selain menyajikan tembang diiringi instrumen gamelan, masih ditambah dengan sajian teater. Yakni dengan hadirnya 3 orang laki – laki yang menggunakan kostum seperti tokoh yang ada dalam pewayangan dan 1 orang perempuan yang juga menggunakan kostum pewayangan. 3 orang laki – laki tersebut memakai topeng dan seorang wanita tersebut menari. Saat 3 orang laki – laki dan seorang perempuan tersebut bermain peran maka suara dari pesinden dan gamelan sedikit lebih lirih karena 3 orang laki – laki dan seorang perempuan tersebut sedang berdialog.
Description: DSC_0009.JPG

f.       Penyaji ketiga adalah oleh Tribayu Santosa ( rincian gendhang), Suwuh (sebagai rincian gender), penyaji lain ada yang sebagai rician rebab, dan yang lainnya menyajikan gendrung klentingan dan gendrung pengasih dengan menggunakan laras slendro patet 6, laras pelog, laras slendro patet 9, dan laras pelog patet barang. Penyajian diawali dengan permainan rebab terlebih dahulu, ada diiringi tepuk tangan dari penyaji 5 orang, dan ada pengiring vokal. Sajian ini tampil kurang lebih 1 jam, dominan dengan pesinden wanita yang nembang. Pagelaran dominan dengan tembang, instrumen gamelan dan tepuk tangan. Pemain menggunakan kostum pakaian tradisional Jawa Tengah.
Description: DSC_0012.JPG

g.        Durasi penyajian pagelaran dari masing – masing kelompok berbeda, tergantung dari pagelaran yang disajikan. Yang paling lama adalah sajian ketiga yang disajikan oleh Tribayu dan kawan – kawan, disajikan lebih dari 1 jam.
Dari ketiga penyajian tersebut, ada satu penyajian yang menarik. Konsep penyajian dua yang disajikan oleh Danang Prabowo (rincian rebab), Ardi Satria Handoko (rincian gender dan pendhalang), Liliawati (sebagai pesinden) menyajikan sebuah gendhing karawitan dengan menggunakan slendro patat enem ini dengan diiringi tari yang dimainkan oleh 3 orang laki – laki dan seorang perempuan. Adanya persembahan tari tersebut membuat sajian lebih hidup serta kandungan dalam tembang yang dibawakan seperti dituangkan dalam tarian dengan sedikit dialog.
Dalam sajian konsep tradisional identik dengan gamelan jawa, tembang atau sekar macapat oleh pesinden, tata busana menggunakan pakaian tradisional (kebaya untuk perempuan dan beskap untuk laki – laki) dan tata rias yang khas (sanggul).  

B.       Konsep Penyajian Kontemporer
Pagelaran kontemporer yaitu pagelaran yang terbentuk dari keratifitas manusia yang didalamnya terdapat unsur – unsur atau budaya kuno (tradisional) dan dipadukan dengan unsur – unsur modern. Pagelaran ini menggambarkan nilai – nilai  yang ada dalam masyarakat. Menggambarkan masyarakat dalm kehidupan sehari – hari.
Berdasarkan hasil pagelaran yang diamati pada tanggal 16 April, dalam konsep penyajian pagelaran kontemporer memuat hal – hal berikut :
a.         Sajian pertama kontemporer adalah “kluthekan” yang disajikan oleh Sasno.  Kluthekan menggambarkan kehidupan masyarkat sehari – hari. Kluthekan mengangkat  sebuah cerita pedagang tahu kupat. Properti yang digunakan adalah gerobak tahu kupat, dapur, meja dan kursi seperti diwarung. Pemain menggunkan pakaian sehari – hari seperti  kemeja, celana, kaos, untuk yang berperan menjadi pedagang memakai kebaya dengan bawahan, celana kain dan baju lengan panjang. Instrumen yang mengiringi dengan menggunakan botol bekas, variasi suara dari mulut, serta suara ceret yang berbunyi khas menambah apik suasana. Lagu pengiring semacam lagu dolanan. Lagu dinyanyikan secara bersama – sama. Sajian ditutup seorang laki – laki menggoreng telur yang menimbulkan suara khas sebagai tanda sajian telah berakhir.
Description: IMG_0393.JPG
b.      Sajian  kedua disajikan oleh Jasno dengan judul “trenyuh”. Trenyuh menggambarkan kisah seorang ayah yang mencari keluarganya tetapi justru rasa marah yang didapat ketika mencari keluarganya. Instrumen yang digunakan adalah peraduan dari tradisional dan kontemporer yakni  saron, bonang, rebab, gitar, bambu yang diisi air dengan cara membunyikanya bambu dimiringkan ke kiri dan ke kanan sehingga air mengalir dan menghasilkan suara seperti suara gemercik air. Busana yang dipakai semi tradisional.
Description: IMG_0442.JPG

c.         Penyajian ketiga oleh Kukuh dengan judul “randha”. Dalam penyajiannya menggunakan instrumen gamelan berupa kendhang, suling, saron, gender, kethuk kempyang. Pemain menggunakan kaos.
Description: IMG_0457.JPG

d.        Sajian selanjutnya oleh Suryo Winarko dengan judul “Ngedhablu”, mengisahkan janji-janji para pejabat  yang akan menjadi wakil rakyat. Saat mereka mencalonkan diri sebagai wakil rakyat mereka mengumbar janji tetapi setelah menjadi wakil rakyat mereka lupa pada janjinya. Sajian ini memadukan variasi tradisional dengan kontemporer. Instrumen yang digunakan adalah bonang, gender, saron dan kethuk. Pemain menggunakan pakaian semi tradisional.
Description: IMG_0468.JPG

Dari penyajian  penyajian yang telah disajikan, yang paling menarik adalahsajian yang berjudul “Kluthekan” karena pada sajian ini benar – benar mengangkat cerita dari kehiduapn masyarakat. Penyajiannya lebih menarik karena mengandung humor. Properti yang dibawa nyata, sehingga maksud dari sajian tersebut mudah dan menarik untuk dinikamati.

C.      Kesimpulan dari Konsep Sajian Tradisional dan Kontemporer
Dari sajian yang telah diamati dapat ditarik beberapa kesimpulan perbedaan antara kosep sajian tradisional dan kontemporer :
1.      Dari segi alat musik atau instrumen yang dipakai. Sajian tradisional dominan menggunakan instrumen gamelan jawa sebagai pengiringnya tanpa menambah instrumen lainnya. Sedangkan pada sajian kontemporer menggunakan perpaduan antara instrumen tradisional dan modern sehingga menambah variasi suara yang dihasilkan. Contoh pada pada sajian yang berjudul Trenyuh selain menggunakan saron, bonang dan rebab juga menggunakan bambu yang diisi dengan air.
2.      Dari segi vokal. Sajian tradisional menggunakan sekar macapat dalam penyajiannya sedangkan pada sajian kontemporer bisa menggunakan lagu dolanan seperti pada sajian yang berjudul Kluthekan.
3.      Dari segi tata busana. Sajian tradisional menggunakan busana tardisional seperti kebaya dan beskap sedangkan pada sajian kontemporer menggunakan pakaian yang digunakan sehari – hari atau menggunakan pakain semi tradisional seperti yang ada pada sajian yang berjudul Trenyuh.
4.      Dari segi sikap saat perfomance. Sajian tradisional lebih halus, contoh pengrawit dan pesinden semua duduk sopan. Sedangkan pada sajian kontemporer penyaji bergerak sesuai alur cerita, seperti jalan, berdiri, dan duduk.
5.      Dari segi tata rias. Sajian tradisional identik dengan sanggul untuk wanita sedangkan pada sajian kontemporer penyaji berandan sesuai dengan sajiannya. Misal pada sajian yang berjudul Kluthekan,penyaji yang berperan sebagai pedagang juga berias seperti pedagang.


Contoh RPP IPA SD Model Pembelajaran Keterampilan Proses Sains

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Model Pembelajaran Keterampilan Proses Sains
Mata Pelajaran              : Ilmu Pengetahuan Alam
Kelas/Semester              : III/1
Materi                           : Lingkungan Sehat dan Lingkungan Tidak Sehat
Tujuan Pembelajaran     : 1.Menggambarkan ciri-ciri lingkungan yang sehat dan
                                           lingkungan tidak sehat.
2.Mendeskripsikan kondisi lingkungan yang
   berpengaruhterhadap kesehatan.
3. Menjelaskan cara menjaga kesehatan lingkungan.

Kegiatan
Deskripsi Kegiatan
Alokasi Waktu
Pendahuluan
1.      Guru masuk kelas mengucapkan salam.
2.      Guru meminta salah satu siswa memimpin doa sebelum pemebelajaran dimulai.
3.      Guru menanyakan kabar siswa dan melakukan presensi.
4.      Guru mengajak siswa untuk semangat pagi.
5.      Memberikan cerita – cerita teladan untuk menanamkan nilai – nilai krakter.
6.      Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dipelajari.
7.      Menyampaikan cakupan materi secara singkat
5 Menit
Inti
A.    Mengamati/ Observasi (5 panca indera)
1.      Guru menampilkan gambar – gambar lingkungan sehat dan lingkungan tidak sehat melalui slide (power point).
B.     Klasifikasi/ Pengelompokan
1.      Mengklasifikasikan gambar berdasarkan lingkungan sehat dan lingkungan yang tidak sehat yang ditampilkan guru melalui slide (power point).
C.     Interpretasi
1.      Guru membuat tabel di papan tulis tentang pengelompokan / klasifikasi yang termasuk lingkungan sehat dan lingkungan yang tidak sehat melalui gambar yang telah ditampilkan.
D.    Prediksi
1.      Memperkirakan mana yang baik untuk kesehatan.
2.      Kira – kira makhluk hidup akan lebih nyaman tinggal pada lingkungan yang bagaimana.
E.     Mengajukan Pertanyaan
1.      Pernahkah kalian membuang sampah sembarangan?
2.      Coba pikirkan mengapa membuang sampah disungai bisa menyebabkan banjir?
F.      Hipotesis
1.      Siswa menjawab dengan berbagai variasi jawaban menurut pengetahuan mereka sendiri.
G.    Percobaan
1.      Melakukan percobaan atas prediksi yang telah dikemukakan dengan cara guru :
Menampilkan gambar – gambar dan orang yang membuang sampah disungai, sambil guru menjelaskan.
Sampah yang dibuang disungai akan menghambat aliran sungai tersebut, sehingga aliran menjadi tersendat. Sampah yang dibuang tidak mudah untuk mengurai, bahkan akan menggunung sehingga menyebabkan sungai semakin dangkal dan menyempit. Ketika hujan turun, sungai tidak mampu menampung volume air hujann akibat pendangkalan. Akhirnya air naik ke permukaan dan mengakibatkan banjir.
H.    Menerapkan Konsep
Dengan cara mengamati gambar dan video yang disajikan oleh guru dan siswa akan menghubungkannya dengan keadaan lingkungan sekitarnya.
I.       Menyimpulkan
Menyimpulkan pembelajaran atau kesimpulan sederhana dari Pembelajaran KPS yang telah dilaksanakan.
J.       Mengkomunikasikan
Guru memberi tahu pada siswa bahwa harus menjaga lingkungan agar sehat. Guru mengajak siswa untuk melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah Sebagai perwujudan dari keterampilan siswa.
60 Menit
Penutup
1.      Guru  menyimpulkan dan memeberi penguatan konsep terhadap materi yang telah dipelajari.
2.      Bertanya jawab dengan siswa tentang materi yang sudah dipelajari dan memberi kesempatan siswa yang belum paham untuk bertanya.
3.      Melakukan evaluasi dengan memberikan siswa soal – soal terkait materi.
4.      Memberikan tugas atau pekerjaan rumah kepada siswa untuk memilih salah satu contoh lingkungan yang tidak sehat dan bagaimana cara mengatasinya (solusi).
5.      Menyampaikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya.
6.      Menutup pembelajaran dengan berdoa.
5 Menit



Permasalahan Pendidikan di Indonesia

MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA SECARA MAKRO
1.      Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata - rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Pembangunan pendidikan yang sudah dilaksanakan sejak Indonesia merdeka telah memberikan hasil yang cukup mengagumkan sehingga secara umum kualitas sumberdaya manusia Indonesia jauh lebih baik. Namun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita masih ketinggalan jauh, oleh karena itu, upaya yang lebih aktif perlu ditingkatkan agar bangsa kita tidak menjadi tamu terasing  di Negeri sendiri terutama karena terjajah oleh budaya asing dan terpaksa menari diatas irama gendang orang lain. Upaya untuk membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relatif ringan. Hal ini di sebabkan dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadapi sejumlah  masalah yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera diatasi karena sangat berpengaruh terhadap pendidikan selanjutnya, ada beberapa masalah internal pendidikan yang dihadapi, antara lain seperti yang akan kita bahas berikut yaitu Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita Undang-Undang No 4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada bab XI pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara republik Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu dipenuhi.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI pasal 10 ayat 1 menyatakan: ”semua anak yang berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun “ ayat 2 menyatakan: “belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Landasan yuridis pemerataan pendidika tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai akibat penjajahan.
Pemerataan pendidikan adalah bagaimana system pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu equality dan equity. Equality atau persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama. Coleman dalam bukunya Equality of Educational Opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.
Pemertaan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang telah lama menjadi masalah yang  mendapat perhatian, terutama di Negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan agama semboyan education for all. Mentri pendidikan nasional Muhammad Nuh menyatakan, salah satu paradigma yang harus digeser adalah wajib belajar 9 (Sembilan) tahun. “Masyarakat punya hak untuk menuntaskan Sembilan tahu pendidikan. Kalau itu menjadi hak, maka Negara harus menyiapkan seluruh sarana dan prasarana. Semua bisa menuntaskan pendidikan sembilan tahun”. Katanya ketika membuka Rembuk Nasional Pendidikan 2010 di Pusdiklat Pegawai Ke-mcntenan Pendidikan Naasional,Depok 3 maret 2010.
Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidak merataan pendidikan di Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat miskin. Factor yang mempengaruhi ketidak merataan pendidikan ini disebabkan oleh factor financial atau keuangan. Semakan tinggi tingkat pendidikan, semakain mahal/tinggi biaya yang dikeluarkan oleh individu. Indonesia merupakan Negara berkembang yang sebagaian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak berkecukupan. Masyarakat menganggap bahwa banyak yang lebih penting daripada membuang-buang uang mereka untuk bersekolah/berpendidikan. Selain itu, biaya pendidikan di Indonesia yang relative mahal jika dibandingkan Negara lain meskipun biaya beberapa tingkat pendidikan telah dibebaskan.
Pemerataan pendidikan merupakan amanat UU sebagaimana disebutkan dalam UU Republik Indonesia No. 20 Thn. 2003 tentang system Pendidikan Nasional BAB III Pasal 4 tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan yang berbunyi : “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa”.

Hal ini juga tercantum dalam BAB IV Pasal 5 bagian kesatu tentang Hak dan kewajiban Warga Negara yang berbunyi :
1.    Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2.    Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, inelektual, dan social berhak memperoleh pendidikan khusus.
3.    Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat pembangunan. Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Khusus pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan seksama.
Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada seluruh warga Negara perlu di berikan bekal dasar yang sama. Pada jenjang pendidikan menengah dan terutama pada jenjang pendidikan yang tinggi, kebijakan pemerataan didasarkan atas pertimbangan  kualitatif dan relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak, keperluan, tenaga kerja, dan keperluan pengembangan masyarakat, kebudayaan, ilmu, dan tekonologi. Agar tercapai   keseimbangan antara faktor minat dengan kesempatan memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan yang seluas-luasnya mengenai bidang-bidang pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya yang dibutuhkan dalam pembangunan utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan langka.
Perkembangan upaya pemerataan pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke pelita.  Didalam Undang-Undang No.2 tahun 1989 tengtang sistem pendidikan nasional III tentang hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan, pasal 5 menyatakan: ”setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Bahkan dalam pasal 7 mengenai hak telah di tegaskan sebagai berikut: “penerimaan seorang peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Permasalahan pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu masalah pemerataan pendidikan juga terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daearh-daerah terpencil. Banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati bangku sekolah pula, salah satunya karena faktor biaya. Sedangkan untuk pemerataan  di daerah pedesaan/ terpencil karena jangkauan wilayah yang kurang strategis sehingga terkadang membuat pemerintah kurang menengok keadaan disana. Padahal seharusnya pemerintah juga memperhatikan masyarakat yang disana. Bahkan dapat dilihat bahwa banyak juga yang semula menempuh jenjang pendidikan namun tiba – tiba berhenti. Ini juga kurangnya perhatian lebih pada masyarakat yang sekiranya kurang dalam pembiayaan yang mengakibatkan putusnya peserta didik di jenjang sekolah. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Adapun permasalahan pemerataan pendidikan dapat ditanggulangi dengan menyediakan fasilitas dan sarana belajar bagi setiap lapisan masyarakat yang wajib mendapatkan pendidikan. Pemberian sarana dan prasrana pendidikan yang dilakukan pemerintah sebaiknya dikerjakan setransparan mungkin, sehingga tidak ada oknum yang dapat mempermainkan program yang dijalankan ini. Yang paling penting peran pemerintah untuk lebih memperhatikan perkembangan masyarakat dalam memandang pendidikan. Khususnya di daerah terpencil, juga wajib mendapat perhatian dari pemerintah. Sehingga pendidikan di Indonesia dapat merata tanpa harus membedakan ras maupun wilayah.
2.      Masalah Efisiensi
Sistem pendidikan dikatakan efisien bila dengan menggunakan segala sesuatu yang serba terbatas namun dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Pada hakikatnya masalah efisiensi adalah masalah pegelolaan terutama memanfaatkan sumber dana dan sumber daya yang ada. Hal ini nampak dengan banyaknya murid yang drop out, anak yang belum memperoleh pendidikan, anak yang tinggal kelas, terbelakang dan penyandang cacat atau yang sangat cerdas.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan peran serta perorangan, masyarakat, dan swasta dalam menyelenggarakan pendidikan. Di samping itu diupayakan agar peran serta masyarakat yang tergolong miskin dapat dibantu secara subsidi silang dari masyarakat yang tergolong kaya.
3.      Masalah Relevansi
Relevansi adalah masalah kesesuaian antara hasil pendidikan dengan tuntutan lapangan kerja, kesesuaian antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional, serta antar kepentingan perseorangan, keluarga dan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui pendidikan hendaknya dapat dihasilkan generasi yang terampil, cerdas, berpengetahuan luas sehingga dapat berperan dalam menunjang pembangunan nasional di segala bidang.
Untuk memenuhi harapan tersebut diperlukan keterpaduan, antara perencanaan, pelaksanaan dalam pembangunan khususnya di bidang pendidikan, sebagai contoh pendidikan di sekolah harus direncanakan berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional serta memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang diperlukan sesuai dengan keadaan lingkungan di wilayah tertentu.
4.      Masalah Lemahnya Manajemen Pendidikan
Reformasi pemerintah yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Kejadian ini ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata pada daerah termasuk pada manajemen pendidikan. Manajemen yang berpusat pada masa lalu memiliki banyak kendala, misalnya pemberian sarana yang tidak diperlukan.
Upaya untuk meningkatkan mutu manajemen sekolah, diterapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). MPMBS ini merupakan alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan. Upaya ini ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan nasional. Otonomi sekolah diberikan agar sekolah dapat mengelola dengan leluasa, mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas, dan sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhannya sendiri. Dengan demikian kebutuhan sekolah dapat terpenuhi sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang di sekolah. Sedangkan masyarakat dituntut berpartisipasi agar mereka lebih memahami pendidikan, membantu serta mengontrol pengelolaan pendidikan.  
5.      Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.




PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA SECARA MIKRO
1.      Minimnya Sarana dan Prasarana Dalam Sekolah
Sekolah sebagai bentuk organisasi diartikan sebagai wadah dari kumpulan manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu yakni tujuan pendidikan. Keberhasilan program pendidikan dalam proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu siswa, kurikulum, tenaga kependidikan, dana, prasarana dan sarana, dan faktor lingkungan lainnya. Apabila faktor tersebut terpenuhi dengan baik dan bermutu serta proses belajar bermutu pada gilirannya akan menghasilkan meningkatkan mutu pendidikan di Negara kita ini.
Salah faktor yang mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses pembelajaran yaitu sarana dan prasarana. Prasarana dan sarana pendidikan adalah salah satu sumber daya yang menjadi tolak ukur mutu sekolah dan perlu peningkatan terus menerus seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup canggih. Sarana prasarana adalah salah satu bagian input, sedangkan input merupakan salah satu subsistem. Sarana prasarana sangat perlu dilaksanakan untuk menunjang keterampilan siswa agar siap bersaing terhadap pesatnya teknologi. Sarana prasarana merupakan bagian penting yang perlu disiapkan secara cermat dan berkesinambungan, sehingga dapat dijamin selalu terjadi KBM yang lancar. Dalam penyelengaraan pendidikan, sarana prasarana sangat di butuhkan untuk menghasilkan KBM yang efektif dan efisien.
Menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 Tanggal 28 Juni 2007 tentang standar sarana dan prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah, bangunan gedung memenuhi persyaratan kesehatan berikut :
a.  Mempunyai fasilitas secukupnya untuk ventilasi udara dan pencahayaan yang memadai.
b.  Memiliki sanitasi di dalam dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan tempat sampah, serta penyaluran air hujan.
c.  Bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sedangkan ketentuan prasarana dan sarana sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut: 1.ruang kelas, 2.ruang perpustakaan, 3.laboratorium IPA, 4.ruang pimpinan, 5.ruang guru, 6.tempat beribadah, 7.ruang UKS, 8.jamban, 9.gudang, 10.ruang sirkulasi, 11.tempat bermain/berolahraga.
Diperjelas juga dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa:
v     Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
 Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Hal itu tentu relevan bagi Sekolah  yang berada di kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana tentunya tercukupi dengan baik, namun bagi SD Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR) hal ini menjadi kebalikan dari sekolah di kota. Bagaimana mutu pendidikan di Indonesia ini akan meningkat sedangkan pemerintah masih kurang memperhatikan fasilitas baik sarana maupun prasarana di sekolah-sekolah terpencil yang jauh dari kota.
Salah satu penyebab terjadinya permasalahan sarana dan prasarana di Indonesia yaitu pemerataan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti: 1) meliputi seluruh bagian, 2) tersebar kesegala penjuru, dan 3) sama-sama memperoleh jumlah yang sama. Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah Dasar (SD) baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah standar nasional, 51,71% katekori standar minimal dan 44,84% dibawah standar pendidikan minimal. Pada jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar minimal dan 26% tidak memenuhi standar pelayanan minimal. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
Banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi  yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Permasalahan sarana dan prasarana ini sering dijumpai pada daerah daerah yang terpencil atau pedalaman, seperti pedalaman kalimantan. Biasanya keterbatasan sarana dan prasarana ini mulai dari gedung sekolah yang ruangannya tidak layak dipakai untuk mendapatkan suasana belajar yang nyaman dan kondusif (seperti gambar di bawah) dan hanya terdapat dua atau tiga kelas saja, tidak terdapat ruangan lain seperti perpustakaan, laboraturium sarana-sarana olahraga, sarana sarana belajar seperti buku paket yang up date serta fasilitas lainnya dan jumlah guru yang sangat terbatas.
 Situasi seperti itu juga terdapat di daerah perkotaan misalnya ada sekolah yang proses belajar dan pembelajarannya di lakukan di bawah jembatan dan lain lain. Banyak lagi permasalahan sarana dan prasarana sekolah di Indonesia seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Misalnya adanya infocus di tiap kelas, jaringan internet atau wirless di sekolah dll.
Dengan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan yaitu:
a.      Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuhkan sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini. Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan politik disaat pemilu saja.
b.      Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan dimana didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi. Jika lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium, perpustakaan,  ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya,  pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalam pengembangaan kematangan emosi misalanya saja grup band, sepak bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan yang cenderung menyalahi norma.
Di indonesia sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi ini. Inilah peran pemerintah sangat penting guna menunjang sarana dan prasarana di setiap sekolah agar dapat memperbaiki mutu pendidikan. Selain itu sarana dan prasarana pendidikan yang digunakan dalam rangka meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan.
2.      Korupsi di tingkat sekolah
Korupsi di tingkat sekolah bukanlah suatu masalah baru bagi kebanyakan sekolah negeri. Hal ini turut andil dalam menyebabkab rendahnya mutu pendidikan dan menimbulkan semakin mahalnya biaya pendidikan. Korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan diri sendiri sekarang ini merupakan praktek yang lazim dilakukan. Oleh sebab itu korupsi bukanlah hal yang mudah untuk diselesaikan. Solusi yanng ditawarkan :
a.       Memerlukan pembaharuan kebijakan pendidikan melalui konsensus antara birokrat dan komunitas sekolah.
b.      Melacak isu soal perpindahan dan mutasi dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting dari sebuah kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan.
c.       Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan, bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita dijalankan.
d.      Membangun kontrol sosial di semua level pendidikan yang memungkinkan sekolah terus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
e.       Dalam pelaksanaan program belajar mengajar guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat harus tercermin dalam program penguatan kapasitas guru sekaligus kapasitas peran serta masyarakat.
f.       Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus terus berupaya mengevaluasi seluruh tools yang berkaitan dengan perangkat perundang-undangan yang dianggap lemah dan perlu diubah, terus berupaya meningkatkan kapasitas manajemen sekolah secara berkesinambungan.
g.      Membuat sebuah program perencanaan manajemen keuangan sekolah, agar warga sekolah semakin peduli pada setiap rencana yang akan sekolah tetapkan.
h.      Komite sekolah harus dapat menciptakan kondisi sekolah yang transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya sederhana, yaitu komite sekolah juga memiliki fungsi sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengontrol (controlling agency), dan mediator. Komite sekolah merupakan kekuatan nyata yang tak pernah diberdayakan sekaligus diikutsertakan dalam menyusun RAPBS.

3.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4.      Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.


















DAFTAR PUSTAKA

Ferry T. Indriarto. 2007. Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Jakarta: Kompas
Maragustam, 2010, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna ; Filsafat Pendidiakan. Yogyakarta : Nuha Litera
Nuryanto Agus. 2010. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book
Kompas, Rabu 23 Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu standar